Menyoroti Keberagaman: Komunitas Minoritas Di Indonesia
Menyoroti Keberagaman: Komunitas Minoritas Di Indonesia – Toleransi di Indonesia masih tergolong rendah jika melihat indeks toleransi dunia. Salah satu indikator pekerjaan rumah adalah toleransi menjadi tolak ukur efektifitas demokrasi di suatu negara.
Mural bertema keberagaman dan toleransi beragama terlihat di dinding kawasan Mekar Jaya Depok, Jawa Barat, Selasa (1/6/2021).
Menyoroti Keberagaman: Komunitas Minoritas Di Indonesia
Menurut laporan Kementerian Agama, tingkat toleransi di Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi yang sama, berbagai organisasi internasional melihat tren serupa terjadi di Indonesia. Di mata dunia, hambatan terbesar terhadap toleransi adalah ketidakmampuan pemerintah menjamin kesetaraan antar umat beragama.
Macam-macam Pemanfaatan Rempah Di Indonesia, China, Dan Georgia
Untuk mengukur toleransi di Indonesia, Kementerian Agama mengeluarkan indeks yang disebut Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dengan menggunakan tiga indikator yaitu toleransi, kesetaraan dan kerjasama, indikator ini menjadi acuan pemerintah untuk menilai seberapa toleran masyarakat dalam urusan keagamaan.
Terakhir, tingkat kerukunan antar umat beragama diukur dengan skala 0-100, dimana skor 0-20 mewakili kerukunan sangat rendah dan 80-100 mewakili kerukunan sangat tinggi.
Dari laporan indeks KUB terlihat tingkat toleransi antar agama di Indonesia semakin meningkat. Indeks KUB yang pertama kali diterbitkan Kementerian Agama pada tahun 2015 adalah 75,35 dengan skala 0 hingga 100.
Skor ini sedikit meningkat menjadi 75,47 pada tahun berikutnya. Meskipun kinerja Indonesia sedikit meningkat menjadi 73,83 poin pada tahun 2019, indeks KUB turun menjadi sekitar 70 poin pada tahun 2018.
Ruu Penyiaran 2024: Mengancam Keberagaman, Kebebasan Pers, Dan Hak Kelompok Rentan
Menurunnya kerukunan umat beragama di Indonesia juga disebutkan dalam kajian berbagai organisasi internasional. Salah satu hal yang juga menyoroti tingkat toleransi di Indonesia adalah Kajian Tahunan Pembatasan Agama yang dilakukan PEW Research.
Secara singkat, penelitian yang dilakukan antara tahun 2007 dan 2018 ini bertujuan untuk menilai bagaimana orang-orang bebas menjalankan agama mereka di 198 negara dan wilayah di seluruh dunia.
Dalam penelitian ini PEW menggunakan dua indeks, yaitu Indeks Permusuhan Sosial (SHI) dan Indeks Pembatasan Pemerintah (GRI). Di sisi lain, GRI terbiasa melihat betapa banyaknya pembatasan yang dilakukan terhadap agama warga negara di negara tersebut. Sedangkan SHI biasa melihat segala bentuk gesekan agama di masyarakat.
SHI terutama menaruh perhatian pada bagaimana penganut agama minoritas dapat hidup berdampingan dengan penganut agama besar. Baik pada indeks SHI maupun GRI, semakin tinggi angkanya, semakin besar hambatan agamanya, atau semakin toleran wilayah tersebut.
Festival Toleransi 2024, Merayakan Keberagaman Dan Persaudaraan Di Indonesia
Sayangnya, pada dua indikator tersebut, Indonesia lebih bermasalah. Dengan skor GRI sebesar 7,7 dan skor SHI sebesar 6,7 pada tahun 2018, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pembatasan keagamaan tertinggi di dunia. Faktanya, hasil ini jauh di bawah GRI 2.9 dan SHI II.
Tingkat pembatasan agama di Indonesia berdasarkan kategori tertinggi. Bahkan, dibandingkan 25 negara ternama di dunia, skor GRI dan SHI Indonesia menempati peringkat ketiga di bawah India dan Mesir.
Tingginya jumlah SHI di Indonesia tidak mengherankan karena kasus diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih sering terjadi. Faktanya, pada masa dampak pandemi pada tahun 2020-2021, masih ditemukan kasus diskriminasi terhadap mereka. Salah satu contohnya adalah siswi dari agama minoritas yang dipaksa mengenakan jilbab di sekolah di Sumatera Barat.
Setelah pemeringkatan, skor GRI Indonesia menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia. Skor Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan Tajikistan dan Turkmenistan yaitu 7,9 dan sedikit lebih buruk dibandingkan Vietnam dan Uzbekistan (7,5). Dari sini terlihat jelas bahwa permasalahan intoleransi masih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak menjamin persamaan hak beragama.
Indonesia Diversity Day: Memahami Makna Keberagaman Sebagai Kekayaan
Contoh nyata ketidakmampuan pemerintah adalah penerimaan pemerasan pemerintah. Mengenai pembangunan rumah ibadah misalnya, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 2006 mengatur berbagai persyaratan administratif.
Beberapa persyaratan tersebut antara lain daftar KTP penggunaan tempat ibadah, dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, persetujuan pimpinan atau kepala desa, dan rekomendasi dari pihak gereja kota dan pihak desa/kelurahan. kota. wilayah/kota kerukunan umat beragama. Forum
Bagi pemeluk agama besar tentu hal ini tidak menjadi masalah. Namun, bagi kelompok agama minoritas, persyaratan administratif ini mungkin terlalu memberatkan. Misalnya rekomendasi FKUB tentang persyaratan di daerah. Berdasarkan keputusan menteri yang sama, anggota FKUB dipilih oleh pemerintah daerah dan jumlahnya sebanding dengan penganut agama di daerah.
Misalnya di Batavia Barat, 84 persen penduduknya beragama Islam, dan 84 persen atau setidaknya 17 21 anggota FKUB Batavia Barat beragama Islam. Oleh karena itu, sangat sulit bagi agama-agama kecil untuk mendapatkan surat rekomendasi membangun tempat ibadah.
Laporan Studi Pengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi Bagi Kelompok Rentan Di Indonesia
Diskriminasi tidak hanya dirasakan di tingkat komunitas, namun juga di tingkat individu. Salah satu hal yang disoroti oleh laporan DOS Amerika adalah meningkatnya kriminalisasi terhadap kelompok agama minoritas dalam kerangka hukum yang mengatur penodaan agama.
Pengaturan ini, alih-alih melindungi kelompok agama minoritas dari kelompok fundamentalis, justru menjerat kelompok agama minoritas yang ingin menyatakan haknya di depan umum.
Contohnya adalah kasus seorang narapidana asal Sumatera Utara yang dipenjara oleh DOS karena mencari masjid di lingkungan tempat tinggalnya untuk menyampaikan pidatonya. Selain insiden lainnya, DOS memusatkan perhatiannya pada penargetan pendeta Papua yang dilakukan oleh anggota TNI.
Tidak hanya menjadi kepentingan nasional, isu toleransi juga mendapat dampak serius di kancah global. Berdasarkan hasil kajian PEW, 65 persen dari 26 negara dengan tingkat GRI tinggi atau 17 persen termasuk dalam kategori otoriter berdasarkan indeks demokrasi.
Menolak Rasisme: Memperkokoh Persaudaraan Dalam Bingkai Keberagaman
Sementara itu, di antara 26 negara tersebut, Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga termasuk negara dengan demokrasi yang cacat.
Artinya, di mata dunia persoalan intoleransi beragama bukan hanya soal kerukunan umat beragama dan kebebasan warga negara. Namun, toleransi juga tampaknya menunjukkan seberapa populer atau angkuhnya suatu negara.
Jika masyarakat dan pemerintah suatu negara saling bertoleransi, hampir bisa dipastikan demokrasi di negara tersebut akan semakin baik. Maka jangan heran melihat label “demokrasi cacat” terus diterapkan di Indonesia jika persoalan toleransi tidak diselesaikan. Saya harap ini tidak terjadi di masa depan. (Litbang)
Demokrasi R+D Kerukunan Beragama Toleransi Rangga Eka Sakti Kerukunan Forum Keagamaan Indeks Kerukunan Agama Indeks Toleransi Dunia Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Medan menggelar aksi penolakan RUU Keterbukaan Informasi di Gedung DPRD Sumut, Selasa (21/4). (Dokumen: AJI Medan)
Living Law: Ancaman Bagi Masyarakat Adat Dan Keberagaman?
Batavia – Undang-undang radio Indonesia yang disahkan pada tahun 2002. Dalam perjalanannya, undang-undang ini harus ditinjau kembali mengingat pesatnya perkembangan teknologi.
Namun, kajian yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbukti bermasalah dalam proses penyusunannya, yang mengancam keberagaman, menindas kebebasan dan hak-hak kelompok rentan. Masyarakat hanya punya waktu beberapa bulan, karena UU Radio yang diamandemen dijadwalkan menjadi undang-undang pada September 2024.
Menghentikan terbitnya Koalisi Diskriminasi yang beranggotakan beberapa LSM/Lembaga, perlu diketahui ada 4 poin problematis dalam pengujian UU terpopuler yang saat ini sedang dibahas Baleg DPR RI.
1. Perluasan amanah KPI ke ranah digital. Alhasil, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diperluas. Dalam revisi undang-undang tersebut, KPI tidak hanya akan menayangkan konten lama di layar kecil atau layar besar, namun KPI juga akan memperluas kewenangannya di bidang digital.
Explorasi Peta Asean Menurut Rumpun Etnis Di Kawasan
Selain itu, sesuai Pasal 1, Ayat 4, 9, dan 17, KPI juga melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap konten yang muncul pada platform siaran digital. Pengertian kegiatan penyiaran yang luas berarti YouTube, Instagram, TikTok, dan platform transmisi digital lainnya diatur dalam RUU Publikasi. Termasuk di dalamnya program radio dan podcast sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94. Artikel ini menjelaskan bahwa platform transmisi digital mencakup layanan mendengarkan radio atau layanan transmisi audio. Karena platform penerbitan digital tidak memproduksi konten, namun diproduksi oleh pembuat konten, RUU tersebut juga mempertimbangkan pembuat konten sebagai target. Menurut sutradara Remotivi Yovantra Arief, perubahan ini mengancam kebebasan siaran pers dan kreativitas di ruang digital.
“Undang-undang ini memberlakukan model regulasi transmisi tradisional di ranah digital. Sebenarnya kedua teknologi tersebut berbeda. “Itu tidak dilindungi, itu membatasi kreativitas,” ujarnya.
2. Terbitnya RUU Bungkam Pers Konsekuensi lain dari perluasan UU Tinjauan Radio adalah pers harus mematuhi peraturan Komisi Radio Indonesia/KPI. Ketua Umum Ikatan Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida mengatakan, hal ini bisa saja merupakan pemotongan kewenangan KPI dan Dewan Pers, karena saat ini Dewan Pers telah mengatur dan mengontrol kerja pers sesuai dengan ketentuan. norma pers. hukum Diamnya pers juga berarti diamnya kelompok marginal, karena pembatasan ini membuat ruang penerbitan semakin sempit bagi kelompok rentan.
“UU Pers memang sudah hilang, kita memang butuh revisi. RUU Radio boleh saja direvisi, tapi revisi ini sangat menekan kebebasan pers. Ini bukan cita-cita yang ingin kita revisi. Ini merugikan banyak pihak, “ucap Nani
Penerapan Agama Di Indonesia Dinilai Terjebak Formalitas, Perlu Penguatan Untuk Jadi Panduan Moral Berbangsa Dan Bernegara –
3. KPI yang Diskriminatif dan Standar Ganda Revisi UU Penyiaran ini akan melemahkan kualitas demokrasi Indonesia di ruang digital dan akan mendiskriminasi kelompok rentan. Secara khusus, beberapa poin yang merugikan masyarakat dan penerimaan terhadap minoritas gender. Klausul ini terdapat pada pasal 56(2)(g), yaitu larangan konten acak dan konten siaran.
“RUU ini melihat kemunculan media baru sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Padahal, ini adalah wadah bagi kelompok marginal untuk mengekspresikan diri.