Liputan Seni: Pelukis Muda Yang Menggugah Imajinasi
Liputan Seni: Pelukis Muda Yang Menggugah Imajinasi – Melihat lukisan hasil lomba bertajuk “Ekologi: Dari Ruang Virtual ke Ruang Alam” yang dipamerkan di Museum Basoki Abdullah, Jakarta, Rabu (30/11). Kompas/Muhammad Hilmi FAQ
Sebut saja kabar gembira dari Bassoki Abdullah Art Awards #2, sebuah kompetisi seni yang menampilkan ratusan seniman. Mereka adalah anak-anak generasi milenial yang mampu memproyeksikan cara pandang baru terhadap lingkungannya. Anehnya, mereka mewakili interpretasi alam yang berubah-ubah.
Liputan Seni: Pelukis Muda Yang Menggugah Imajinasi
Bertajuk ‘Ekologi: Dari Ruang Virtual ke Ruang Alam’, kompetisi ini menarik 248 karya seniman dalam kelompok usia 17 hingga 30 tahun. Kemudian dipilih 30 karya terbaik yang akan direkam dan dipamerkan pada tanggal 29 November hingga 30 Desember 2016. Sepuluh di antaranya juga mendapat hadiah uang tunai.
In Memoriam — I Gusti Made Bunika, Putra Pelukis Maestro Yang Setia Kukuhkan Gaya Denpasar
Jadi apa kejutannya? “Kalau Basoki Abdallah yang seharusnya meniru alam, meniru alam, maka anak-anak ini sedang mengkritik, mengutuk, atau mengilustrasikan permasalahan kelam dunia kita. “Apa yang terjadi kemudian bersifat simbolis dan metaforis,” kata salah satu hakim, Mickey Susanto.
Salah satu pemenangnya, Reza Praštica Hasibuan, 22, mengkritisi sifat baru manusia modern melalui lukisan cat minyak bertajuk “Nature in Technology”. Ia menampilkan gambar kepala robot dengan kabel-kabel semrawut yang membentang dari cangkang hingga bagian belakang kepala. Daun tumbuh di antara kabel-kabel yang kusut, kupu-kupu beterbangan, ikan berenang, bunga bermekaran, dan burung hinggap.
Seniman kelahiran Gunung Kidul ini prihatin dengan kecenderungan masyarakat modern yang terbiasa dengan gadget modern dan media sosial, namun melupakan keindahan alam yang sesungguhnya. Mereka mencari keberadaan melalui angka
Pesan serupa disampaikan Dayan Pramana Putra Vijaya, 28 tahun, melalui lukisan akrilik bertajuk “Tempat Pertanian #2”. Bergambar sosok manusia berdasi namun memegang smartphone di atas kepala tikus. Di belakangnya terdapat detail pemandangan kota yang digambarkan dengan garis-garis biru yang saling berhubungan yang melambangkan hubungan nirkabel antar individu atau koloni. Ia mengenang, perkembangan teknologi digunakan oleh kapitalis untuk mengakumulasi modal karena keserakahan.
Siasat Partikelir (@siasatpartikelir) • Instagram Photos And Videos
Keserakahan ini sebenarnya dilakukan oleh orang-orang di seluruh dunia, sehingga menimbulkan penderitaan alam yang sangat besar. Tema itulah yang mendominasi lukisan-lukisan lain yang dipamerkan.
Alif Edi Irmawan (21) memperkuat pesan tersebut melalui metafora “membaca pemandangan”. Sosok laki-laki bertopi berdiri dengan wajah sendu dan sendu, dibalut warna abu-abu biru yang menambah kesan sedih. Beberapa figur ditutupi gambar tanaman hijau, pemandangan kota, pepohonan tipis dan kegelapan, semuanya dibingkai dan ditempel sebagai kenang-kenangan masa lalu. Kesedihan tersebut merupakan pesan tentang berubahnya alam dan keindahan kota akibat hiruk pikuk pembangunan.
Yang lebih meresahkan lagi, Razi Fardiansia, 24, melihat kerusakan alam akibat sampah plastik yang sulit terurai. Dalam “Plastic Kills You,” ia menggambarkan seorang pria kurus dan bertelanjang dada yang berjuang melepaskan kantong plastik yang melilit kepalanya. Saat tengkorak ditempelkan di atas plastik dan ditekan, terlihat ia kesulitan bernapas. Tanah disekitarnya kering dan tandus.
Karya-karya mereka tentu sangat berbeda – apalagi bertentangan – dengan karya-karya Abdullah sebelumnya tentang Basso. Basoki cenderung menampilkan alam sebagai sesuatu yang enak dipandang, enak dipandang, dan menghibur. Misalnya saja gambar “Pantai Flores” atau “Gunung Sumbing” yang keasyikannya membuat kita terbayang indahnya alam.
Melukis Cerita, Mereka-reka Dunia Lempad
Namun para peserta kompetisi ini menjadikan alam sebagai objek kritik. Jadi bisa dikatakan mereka adalah sekelompok seniman yang menjaga diri dan lingkungannya.
Kejutan lainnya adalah teknik yang digunakan para seniman. Fitra Alex J, 30, menyusun ratusan potongan sampah plastik hingga menjadi lukisan abstrak seorang wanita berpakaian. Sedangkan Tariq Muntaha, 23 tahun, menggunakan teknik sulam benang untuk membuat gambar di kanvasnya.
Teknik yang lebih kompleks digunakan oleh Muhammad “Den” Irfan Adianto (27), yang menampilkan gambar tiga dimensi batu dan perhiasan yang mengesankan. Potongan-potongan tersebut mencakup gambar kota-kota yang berbaris atau terpotong-potong. Semua itu ia sajikan melalui teknik grafit, guratan pensil yang sangat detail dan halus.
Ini merupakan kabar baik bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Oleh karena itu, ia menyerukan agar kompetisi-kompetisi seperti ini terus dilanjutkan demi munculnya seniman-seniman besar di masa depan. “Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, jumlah pertandingan seperti itu sangat minim, kurang dari 30 kali,” kata Mike.
Pertunjukan “wanita Dalam Lukisan”: Ekspresi Perempuan Dan Imajinasi Yang Lain
Abdullah Yoko Madsono, Kepala Museum Basoki, mengatakan pihaknya juga puas dengan hasil lomba tersebut. Apalagi, hingga saat ini Tanah Air belum mengoleksi lukisan kontemporer seperti karya para pemenang tersebut, yang diyakininya akan menjadi penanda sejarah perkembangan seni rupa Indonesia.
Artikel ini versi cetak dimuat di Harian Kompas edisi 17 Desember 2016, halaman 24 dengan judul “Di Masa Wabah, Meski Ada Pembatasan, Beberapa Pameran Seni Rupa Digelar” Bali. Hal ini tentunya dilakukan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Apakah pamerannya online atau offline.
Salah satu pameran yang mendapat banyak perhatian adalah pameran tunggal Syakieb Sungkar yang mengangkat tema Retro Ekspresionisme, Reaktivitas Lukisan, di Point Dua Ubud Jl. Kok Rai Pudak No. 48, Peliatan Ubud, Kabupaten Ganyar, Bali.
Pameran dibuka oleh Goenawan Mohammed, 16 Oktober 2021 oleh kurator Asamudzo Yono Irianto. Pameran ini menghadirkan 16 lukisan yang dipamerkan dan akan berlangsung hingga 6 November 2021.
Anda Merasa Jenuh, Cemas, Dan Stres? Cobalah Terapi Melukis
Nama Saqib Sungkar sudah tidak asing lagi di dunia seni rupa Tanah Air. Dia adalah seorang kolektor gambar dan pengusaha. Ia juga menjadi juri di Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) dan anggota Persatuan Pecinta Seni Indonesia (PPSI). Di luar seni, ia aktif dalam kegiatan sosial, gerakan sosial di Gerakan Kita Indonesia (GITA).
Karena ia lebih dikenal sebagai seorang kolektor daripada pelukis, banyak pertanyaan yang muncul, baik yang dibisikkan dalam hati maupun dengan suara keras, antara lain:
“Seperti yang dikatakan para pedagang tahu, mereka yang ikut bertani menanam kedelai sendiri, lalu mengolahnya menjadi tahu dan menjualnya sendiri. Bukan saudara yang beretika. Jadi apa yang dilakukan pelukis?
Mungkin ada yang berkata, “Jangan pakai perajin ini, masak sekaligus?” Artisan adalah sebutan bagi pelukis yang menggunakan jasa pelukis lain dalam membuat lukisannya.
Pesan Misterius Dalam Lukisan Potret Diri Pelukis Perempuan Caterina Van Hemessen
Rumor Syakib Sungkar “menginterogasi” pameran tersebut beredar luas di media sosial dan banyak postingan media sosial yang menjadi perdebatan panjang di kolom komentar.
Banyak seniman dan pecinta seni di media sosial pun mendukung pameran Shakib Sungkar dengan mengatakan bagus. Ada yang berkomentar, ide dan teknik melukis Shakib Sungkar sangat bagus. Pesan ucapan selamat dan sukses juga tertulis di laman media sosial kepada banyak seniman dan pecinta seni yang menyaksikan pameran tersebut.
Beberapa jam sebelum pameran dimulai, saya menuju titik dua untuk melihat lukisan Shakib Sungkar di sana. Saya melihat banyak teman-teman saya yang kuliah di ISI Yogyakarta yang menjadi subjek lukisan Syakib Sungkar. Salah satu kolektor seni saya, Papa Kusuma, menyukai seni lukis. Banyak objek lain pada gambar-gambar di pameran itu tampak sangat familier bagi saya.
Akhirnya saya mendatangi Saqib Sungkar yang sedang menikmati kopi bersama kurator pameran Asmujo Jono Irianto. Pemerannya juga antara lain Goenawan Mohammed sebagai pembuka dan Kemalezedine Zubir sebagai panitia pameran.
Mengagumi Kreativitas Ilustrator Indonesia
Saya bergegas mewawancarai Shakib Sunkar tentang gambar-gambar yang dipajang. Belum lagi tentang melukis, perbincangan kami diawali dengan membicarakan tulisan saya tentang Eddy Soetriono yaitu “Ito Joyotmozzo Mengenang Eddy Soetriono: Majalah Tempo, Edith Piaf dan Warna Lukisan” yang terbit pada 15 Oktober 2021. edisi. .
Tentu menjadi perbincangan yang menarik, pasalnya Eddie Soetriono dan Ito Joyotmoyo pernah bekerja di Majalah Tempo yang dipimpin oleh Goenawan Mohamed. Perbincangan menjadi seru saat membahas masa lalu Eddy Soetriono, apalagi Asmuyo juga menyinggung lukisan Ito Zoyotmoyo.
Agar tidak terdistraksi, saya batasi perbincangan saya hanya pada pembahasan lukisan Shakib Sungkar saja. Saya mengawalinya dengan kalimat ini: “Pak Saqib Sunkar, bisakah Anda ceritakan bagaimana ayah Anda memberi Anda majalah Time yang membahas lukisan Pablo Picasso dan akhirnya Anda tertarik dengan dunia seni?”
Shakib yang tersenyum tidak menjawab pertanyaanku. Ia menjelaskan munculnya ide foto bugil yang sebelumnya diminta oleh Goenwan Mohammed.
Liter(art)si — , Gaes, Konon Manusia Dan Seni Tidak Dapat Dipisahkan, Karena Seni Merupakan Representasi Jiwa Dan Tujuan Hidup Manusia. Tanpa Seni, Jiwa Manusia Akan Kering Kerontang. , Berangkat Dari
Katanya: ‘Make Up’, minyak di atas kanvas berukuran 120 x 145 cm, dibuat pada tahun 2020 oleh seorang model wanita dengan lipatan lemak yang terlihat di bagian pinggang. Dan model yang minta difoto pun marah-marah, karena tidak mau difoto seperti itu. Saya ingin menipiskannya.
Bagi Syakieb, melukis pemandangan yang begitu jelas dan detail merupakan bentuk penghormatan terhadap tubuh. Yang menarik dari semuanya adalah kecantikan merupakan bahasa universal yang tidak bisa diukur hanya dari ukuran tubuh seorang wanita, semuanya memiliki kelebihannya masing-masing.
Usai menjelaskan tentang lukisan wanita telanjang itu, Shakib Sunkar menjawab pertanyaan saya. Ia menjelaskan secara detail saat ayahnya memberinya majalah Time.
Ia sangat terkejut ketika membaca artikel di majalah tersebut, karena di dalamnya terdapat lukisan bergaya kubisme karya Pablo Picasso, harganya sungguh luar biasa. Pada tahun 1970-an, lukisan-lukisan Picasso meledak di pasaran. Saqib Sungkar sangat terkejut dan terkejut ketika membaca artikel tersebut, dimana terdapat gambar dengan coretan berbentuk persegi, harganya sungguh luar biasa.
Fenomenal, 6 Karya Seni Ini Berhasil Mengubah Dunia
Sejak saat itu, Shakib Sungkar mulai banyak membaca tentang seni lukis, terlebih lagi ayahnya adalah seorang pelukis yang juga mendesain label produk untuk salah satu minuman. Ayahnya juga merupakan penggemar lukisan Basuki Abdullah dan Dullah. Pada masa inilah Saqib Sungkar mulai menggambar dengan pensil. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat lukisan Pablo Picasso dan Salvador Dali yang dikenalkan ayahnya.
Saat Syakieb Sungkar melanjutkan studinya di ITB, ia akhirnya mengenal karya-karya seniman Indonesia yang terpengaruh Kubisme seperti Eddy Pirus, Ahmad Sadali, dan Mokhtar Apin.
Sejak tahun 1995 ia mulai mengoleksi gambar. Awalnya lukisan Bali dikoleksi, karena bagi Saqib lukisan Bali itu unik, tidak ada yang lain di dunia. Ia juga mengoleksi lukisan dari Sekolah Bandung, serta karya Guru Tua dan Mui Indi. Dan pada tahun 2006 hingga 2008, Shakib mulai menjual lukisan di balai lelang, seperti lukisan Old Master karya Afandi dan Hendra Gunavan.
Pelukis Pablo Picasso dan S. Sudjono sangat mengagumi Shakib Sungkar yang memberikan pengaruh padanya dalam seni lukis. rasanya