Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat – Konferensi Sekolah Navoli yang keempat dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 Maret 2023 di Kantor Dian Interfidei. Selain itu materi disampaikan oleh beberapa narasumber yaitu: Subur Tjahjono (Sekretaris Redaksi Tempo), Imam Wahyudi (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) dan Yosep Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers 2016-2019). Konferensi ini diselenggarakan oleh Pastor Dr. M. Joko Lelono, fasilitator SLI XIV/Universitas Sanata Dharma diarahkan.

Dengan pembicara yang berlatar belakang jurnalistik, peserta diajak untuk melihat lebih dalam bagaimana media mempengaruhi dinamika politik. Media adalah pemimpin dalam menyebarkan berbagai informasi. Informasi dapat dengan mudah ditemukan hanya dengan mengetikkan kata kunci ke dalam mesin pencari. Berbagai informasi dapat diperoleh dengan mudah, salah satunya adalah informasi politik. Menurut Imam Wahyudi, kerja sama dengan seluruh media massa penting dalam mempublikasikan berita politik. Selain itu, tahun pemilu semakin dekat dan beberapa perubahan politik sedang dimulai. Kabar ini mungkin mendapat tanggapan berbeda di opini publik.

Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Selain itu, para peserta juga dapat melihat bagaimana dinamika media mempengaruhi politik dan demokrasi di Indonesia. Pemilu adalah perebutan kekuasaan dengan aturan, standar dan etika untuk pergantian kekuasaan yang damai dan beradab. Persaingan yang sangat kompetitif seringkali menghasilkan kebijakan yang tidak adil. Dalam mengumumkan kampanye, media massa harus bersikap adil dan seimbang terhadap seluruh peserta pemilu. Namun seringkali kita menemukan adanya ketimpangan dalam pemberitaan bahwa hanya satu kandidat yang bias. Media massa bertujuan untuk mendorong terpilihnya pemimpin yang kompeten dan mampu menjalankan pemerintahan 5 tahun ke depan. Era post-truth adalah istilah yang mengacu pada era di mana opini, perasaan, dan keyakinan pribadi sering kali lebih diutamakan daripada fakta objektif. membentuk ide dan mengambil keputusan. Di era ini, fakta atau kebenaran seringkali diabaikan atau diadaptasi untuk mendukung suatu narasi atau agenda, terutama di bidang politik, media, dan budaya populer.

Dua Masalah Sistem Pemilu Indonesia

Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai konteks, seperti penyebaran berita palsu (penipuan), manipulasi informasi, dan retorika yang didasarkan pada emosi dan bukan fakta empiris. Beberapa faktor yang memicu era post-truth mencakup kemajuan teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan luas, serta polarisasi politik dan sosial yang mengurangi kepercayaan terhadap lembaga dan otoritas tradisional.

Istilah post-truth banyak digunakan untuk menggambarkan cara masyarakat modern mengonsumsi dan merespons informasi. Menurut definisi kamus Oxford, post-truth adalah situasi di mana fakta objektif kurang mempengaruhi opini publik dibandingkan daya tarik emosional dan keyakinan pribadi.

Istilah “post-truth” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich dalam artikelnya “Government of Lies” pada tahun 1992. Tulisan Tesich mencerminkan keprihatinannya terhadap propaganda yang terjadi pada awal tahun 1990an selama Perang Teluk, di mana kebenaran dan kebohongan sulit dibedakan oleh khalayak global.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2016, seperti pemilihan presiden AS dan referendum Brexit di Inggris, menunjukkan polarisasi dan kebingungan yang signifikan di kalangan pemilih dan opini publik global. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun karena berbagai berita dan gagasan yang menyebar dengan cepat di era digital, menimbulkan dampak yang dirasakan di seluruh dunia.

Dinamika Penggunaan Hak Angket Pasca Pemungutan Suara

Pada saat itu, penggunaan metode propaganda yang dikenal sebagai “api kebohongan” oleh Donald Trump sangatlah menarik. Strategi ini melibatkan penyebaran informasi palsu atau tidak akurat secara masif dan terus menerus di berbagai platform media, terlepas dari fakta atau kebenarannya. Tujuannya bukan untuk memberikan informasi yang akurat, namun untuk membingungkan dan mengalihkan perhatian masyarakat dengan cerita-cerita yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.

Hal ini menciptakan situasi yang disebut post-truth, di mana fakta obyektif menjadi kurang relevan dalam membentuk opini publik dibandingkan perasaan, opini pribadi, dan narasi yang disajikan oleh para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, kebingungan semakin meningkat di kalangan pemilih dan masyarakat global, karena sulit membedakan antara informasi yang benar dan informasi yang sengaja dibuat salah.

Polarisasi yang terjadi pada tahun 2016 juga mencerminkan perubahan dalam dinamika politik global, di mana kepentingan dan preferensi pribadi sering kali dikalahkan oleh fakta atau pemahaman mendalam terhadap isu-isu kompleks dibandingkan ditentukan oleh identitas sosial, ideologi, dan afiliasi politik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi media dan kritik terhadap informasi yang diterima, serta memperkuat mekanisme pertahanan terhadap propaganda dan disinformasi yang dapat merusak integritas proses demokrasi.

Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Dibandingkan 10 tahun lalu, data KPU menunjukkan pada tahun 2014 partisipasi pemilih muda hanya berkisar 30%. Namun, perkembangan signifikan telah terjadi sejak saat itu, dengan jumlah pemilih muda meningkat secara signifikan hingga 55%. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran politik dan partisipasi pemilih muda meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir.

Pp Muhammadiyah Minta Elit Politik Tak Tarik Masyarakat Dalam Konflik Politik

Peningkatan ini juga terlihat pada data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang membagi pemilih berdasarkan umur. Dengan total lebih dari 200 juta pemilih terdaftar, terlihat bahwa partisipasi pemilih muda, khususnya generasi Milenial dan Z, mempunyai pengaruh penting dalam menentukan hasil pemilu.

Meningkatnya partisipasi pemilih muda tidak hanya menunjukkan peningkatan partisipasi dalam proses demokrasi, namun juga adanya perubahan dinamika politik di Indonesia. Generasi Milenial dan Generasi Z dikenal dengan sikapnya yang lebih terbuka terhadap perubahan, kepedulian terhadap isu lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta kemampuannya memanfaatkan teknologi untuk mengkomunikasikan ide dan menyebarkan informasi.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemilih muda saat ini tidak hanya merupakan bagian yang sangat besar dari seluruh pemilih nasional, namun juga mempunyai potensi yang besar dalam menentukan arah politik dan kebijakan di masa depan. Oleh karena itu, partai politik dan pemimpin masa depan diharapkan lebih mementingkan keinginan dan kepentingan pemilih muda dan berkomunikasi dengan mereka melalui platform yang relevan dan dengan cara yang dapat diterima oleh mereka.

Sebelumnya, calon biasanya dievaluasi dan diukur berdasarkan substansi dan kualitasnya. Namun seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa zaman telah berubah. Kita sering kali terpengaruh oleh opini, penipuan, atau yang lebih buruk lagi, berita palsu (penipuan).

Riset: Di Papua, Tahun Pemilu Selalu Disertai Dengan Meningkatnya Kekerasan

Meningkatnya tren berita palsu memang mengkhawatirkan, terutama ketika generasi muda harus mengambil keputusan politik. Mengapa? Pasalnya, perilaku generasi milenial dan generasi Z termasuk dalam kategori pemilih yang berubah-ubah atau belum menentukan pilihan politiknya, terutama karena usianya yang masih muda dan mungkin kurangnya pengetahuan mendalam tentang politik. Apalagi ketika diminta memahami seluruh gagasan, visi dan misi para calon presiden, seringkali mereka merasa bingung atau tidak paham.

Fenomena ini terus berulang dan seiring semakin dekatnya pemilu, kita akan melihat peningkatan signifikan dalam penyebaran obat-obatan terlarang. Sebagai contoh data kominfo.go.id, kita bisa menyebutkan tahun 2019, hingga bulan April, khususnya tanggal 17 April yang mencapai puncak disinformasi atau disinformasi.

Tujuan propaganda jelas: mengarahkan atau mengubah opini publik tanpa mengandalkan fakta atau objektivitas yang sebenarnya. Di era post-truth ini, masyarakat cenderung mempercayai opini pribadi, hoax, bahkan berita yang tidak relevan secara politik, asalkan dapat menimbulkan respons personal dan emosional. Hal ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan popularitas, terutama di kalangan anak muda yang menjadi sasaran empuk upaya manipulatif tersebut.

Liputan Politik: Dinamika Pemilu Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Fenomena ini menyoroti tantangan utama dalam membangun opini publik berdasarkan kebenaran dan kenyataan, serta perlunya meningkatkan literasi media dan politik di kalangan generasi muda. Lebih dari sekedar memilih kandidat berdasarkan opini yang tersebar di media sosial atau berita viral, penting bagi pemilih muda untuk meluangkan waktu untuk memverifikasi informasi yang mereka terima dan menganggapnya dapat dipercaya dari berbagai sumber. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa demokrasi kita tetap kuat dan berfungsi dengan baik.

Pdf) Dinamika Sistem Pemilu Dan Demokratisasi Partai Politik Di Indonesia Pasca Reformasi

Dalam kerangka hukum Indonesia, penyebaran berita palsu atau disinformasi mempunyai konsekuensi serius, terutama dalam konteks pemilu dan partisipasi politik masyarakat, termasuk generasi muda. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan salah satu peraturan yang menjadi landasan hukum dalam menangani kasus penyebaran penipuan atau berita bohong.

UU ITE memuat ketentuan yang mengatur penyalahgunaan teknologi informasi, termasuk penyebaran informasi yang dapat merugikan orang lain atau masyarakat. Menyebarkan berita bohong terkait politik diancam dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 28 ayat 1 UU ITE yang melarang siapa pun dengan sengaja dan tanpa izin menyebarkan informasi dengan tujuan menimbulkan kebencian pribadi. kebencian atau permusuhan dan/atau kelompok sosial tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta pasal 28 ayat (2) UU ITE yang melarang penyebaran informasi palsu dan menyesatkan.

Selain itu, ada peraturan lain yang terkait, seperti Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang kecurangan dan penyelewengan dalam proses pemilu. Menyebarkan kebohongan dengan tujuan mempengaruhi hasil pemilu dapat dianggap melanggar undang-undang pemilu dan dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam konteks ini, peran aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sangat penting dalam menghadapi penyebaran hoaks dan berita bohong yang dapat mempengaruhi keputusan politik masyarakat, khususnya generasi muda. Upaya penegakan hukum yang efektif dapat memberikan efek jera bagi pelaku disinformasi dan dapat melindungi integritas proses demokrasi serta kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemilu.

Kolaborasi Literasi Pemilu 2024 Yang Aman Dan Kondusif Bagi Generasi Muda

Selain itu, penting juga untuk meningkatkan literasi digital dan politik di kalangan generasi muda, agar mereka dapat mengorganisasikan informasi dengan bijak, mengevaluasi kebenaran berita yang mereka terima dan

Artikel Terkait

Leave a Comment